#advertise {margin:0px;padding:0px;text-align:center} #advertise img {margin:0px 0px;text-align:center;-webkit-border-radius: 1px;-moz-border-radius: 1px;border-radius: 1px;-webkit-box-shadow: 1px 2px 1px #ccc;-moz-box-shadow: 1px 2px 1px #ccc;box-shadow: 0px 0px 0px #ccc;} #advertise img:hover {-moz-opacity: 0.7;opacity: 0.7;filter:alpha(opacity=70);}

Kamis, 28 Maret 2013

In my Dream

In my Dream
Cerpen Romantis

Oleh Aprilana Dewi

“mengatakan aku mencintaimu adalah kata-kata yg ingin aku ucapkan setiap hari dalam hidupku
maukah kau menikah denganku? Aku ingin mencintaimu dan hidup bersamamu
aku ingin kau bersandar di bahuku saat kamu tertidur
maukah kau menikah denganku? Dengan segenap hatiku, apakah kamu setuju ?”

Arlini adalah sosok perempuan yang sudah lama diidamkan Reo . Lelaki yang masih saja membujang karna menunggu cinta Arlini untuknya padahal dia sudah berusia 25 tahun . Arlini dan Reo memang dekat , mereka berdua satu kampus , Arlini masih semester 6 sementara Reo masih skripsi dan sebentar lagi dia akan lulus .
Tak ada kriteria yang lain untuk gadis impiannya kecuali Arlini . Reo sangat mencintai Arlini . Dia sangat manis , lembut dan baik sekali . Terkadang Reo tak sanggup menahan perasaannya sendiri yang membuat setiap malam matanya sulit terpejam .

Selain kuliah, Reo juga punya band . Dia sebagai vokalis dan pencipta lagu . Ada 3 personil pada band yang ia namakan “KRY” yang berarti Kyuhyun,Reo dan Yesung. Salah satu lagu yang ia karang untuk Arlini adalah yg berjudul “ In My Dream “. Mengapa ia mengarang lagu tersebut ? Karna seperti judulnya “ In My Dream “, Lagu itu tercipta seketika ada sebuah mimpi merasuki malamnya . Saat itu Arlini datang pada Reo dengan tersenyum manis . Menghampiri Reo yang kini tengah menggengam sebuah cincin pernikahan .

Malam itu Arlini Nampak cantik, sangat cantik bahkan melebihi kecantikan seorang bidadari . Reo terpesona akan itu . Lalu ia persiapkan jauh dalam hati untuk menyampaikan isi hati kepada Arlini dengan memegang kedua tangan Arlini .

“ Arlini, perlu kau tau bahwa sesungguhnya aku sangat mencintaimu.., aku sangat sulit untuk hidup tanpamu . Maka dari itu menikahlah denganku . Kamu mau kan ? “

Seraya dengan indahnya sebuah melodi yang mengiringi kisah ini… Seperti lagu ini teralun begitu saja Arlini mengangguk …

Tak segan Reo memeluk erat Arlini dengan kekuatan cinta yang sudah benar-benar terbalaskan . Dan itu artinya Arlini sudah akan menjadi seseorang yang menemaninya setiap detik,menit,jam dan hari-harinya.

“meskipun kita menjadi tua
kita akan trus tersenyum dan hdup bersama
maukah kau menikahiku? Apakah kamu mau untuk menjalani sisa hdupmu bersamaku
tidak peduli seberapa lelah kita
aku akan selalu disampingmu
Hari-hariku yg akan kita lakukan bersama
aku kan slalu di sampingmu
aku telah menyiapkan cincin ini sejak dulu
aku mohon pasang cincin yg bersinar ini di jariku
ingat janji yg telah kita buat bersama, maukah kau menikahiku ?”

Setelah Reo melepaskan pelukannya, Reo akan menyematkan cincin yang ia genggam untuk Arlini . Arlini nampak bahagia dengan ini . Membuat Arlini sebahagia ini bagaikan puncak yg paling ujung kebahagiaan dalam hidup Reo .

Mendaratkan sebuah kecupan di kening Arlini seakan membangun gejolak semangat hidup Reo . Ini adalah keindahan … adalah sebuah cinta yang manis .

“ Aku mau menikah denganmu Reo “ ucap Arlini pelan.. pelan sekali . Namun mampu terdengar oleh Reo .
Namun, langkah Arlini semakin menjauh secara sangat perlahan tanpa Reo sadari .. Lama kelamaan Arlini semakin menyamar..memudar dan seperti tertutupi awan gelap… Sedangkan Reo tak bisa bergerak untuk mengejar Arlini .

“ Arlini !!!!!!!!!!!!!!! “ Teriak Reo keraaaaaaassssssss bahkan sangat keraas.. Hingga ia tersadar ..


Barusan dia hanya melewati momen indah yang bersifat sementara yaitu mimpi . Yesung dan Kyuhyun yang juga teman kosnya pun terkejut melihat aksi Reo . Ia berteriak memanggil nama Arlini sangat keras sekali .

Setelah Yesung dan Kyuhyun mendekat, mereka mendapati Reo sedang menitihkan air mata dengan memegang erat kepalanya . Wajahnya memerah dan mengekspresikan kekecewaan yang sangat mendalam .
Jika Reo tau ini hanya mimpi, mungkin dia tak akan bangun lagi …

“Aku berharap tidur seperti ini selamanya
Aku terbangun juga masih dengannya
Aku berharap tidak bermimpi lagi
Hari inipun aku bahkan dapat berdampingan bersamanya
Jika hari ini aku dapat melihatmu lagi, jika dapat seperti itu, jika kau kembali
Jika kau dapat sekali lagi ada di sampingku, jika dapat seperti itu
Aku tidak ingin terbangun
Jika dapat tertidur lagi dan itu akan terulang..…..”

Hari-hari Reo semakin menghitam kalbu seketika mimpi itu datang . Mimpi ini seperti narkoba… Menagihkan… Jika tak mampu mengulang lagi, akan sakit seperti ini . Setiap hari harus memojok di kamar dan merenungkan hal itu lagi dan lagi walaupun sangat terasa mustahil untuk melupakannya .

“diam-diam aku menertawakan diriku sendiri
Aku tidak percaya seberapa dalam aku jatuh untukmu
Kau masuk ke pikiranku dengan rangakaian imajinasi.
Sekarang aku seperti orang bodoh yang jatuh cinta
Semuanya , aku, sekarang, kau
Aku sudah jatuh cinta denganmu
Lihat aku dan aku berjanji
Bahwa aku tidak akan membiarkan engkau pergi
Bahkan jika dunia berakhir, aku akan mencintaimu seperti jam abadi yang tak pernah berakhir”

Bahkan kondisi Reo semakin parah ketika Arlini memperkenalkan tunangannya yang bernama Siwon kepada Reo . Wajar, Reo adalah teman terdekat Arlini . Dengan cara seperti apalagi Reo menahan amarahnya untuk ini ? Ia tidak boleh menunjukan sakitnya cinta ini di hadapan Arlini . Sebagai teman terdekatnya, Reo harus menampakan ekspresi bahagianya ketika seseorang yang sangat ia cintai tengah dimiliki orang lain .

Lambat laun Arlini menghilang dari kehidupan Reo seketika Arlini sudah lulus . Begitupun juga dengan dirinya. Mungkin ini sudah jalannya, Arlini diciptakan bukan untuk dirinya . Namun kenangan di mimpi itu.., takkan mungkin bisa Reo hapus …

“I Still Love You and We will be theLove Truly in My Dream …”

TAMAT

MY YOUNG STEP FATHER?

MY YOUNG STEP FATHER?
oleh Putri Permatasari

Cerpen Romantis
Donna muncul ke permukaan kolam renang dengan anggun. Tungkai kakinya yang panjang dan langsing diayunkannya untuk menaiki tangga kolam. Ia mengambil handuk kimononya di kursi dan memakainya, lalu menyisir rambutnya yang lurus panjang dengan jemarinya yang lentik. Saat akan mengambil crush lemon lime, Donna baru menyadari keberadaan seseorang.
“Rafdy.” Donna melangkah mundur, ia menyipitkan matanya. Ia memandangi pria di hadapannya dengan dingin. Diangkatnya wajahnya. “Ibu tidak ada, percuma kau kemari.”
Rafdy tetap berdiri di tempatnya. Jasnya berwarna hitam serasi dengan celana panjang hitamnya. Ia tidak memedulikan sikap dingin Donna. “Apakah kautahu Ibumu pergi ke mana, calon anakku?”
Donna menggertakkan giginya. Beraninya ia menyebutku calon anaknya! Usiamu hanya beberapa tahun di atasku dan lebih muda dari kakak pertamaku, Dina! Kau lebih pantas menjadi anak Ibuku! maki Donna dalam hati.
“Ibu pergi keluar kota.” Donna tersenyum sinis. Ia mengambil crush dan meminumnya. “Kasihan sekali kau. Kau ‘kan kekasih Ibuku, tapi Ibu tidak memberitahumu ia pergi ke mana.”
Rafdy mengangkat alisnya tak acuh. “Apakah ia memberitahukan ke kota mana?”
“Kau memuakkan! Apakah kau tidak bisa mencari wanita lain? Apakah menurutmu Ibuku yang sudah berusia 47 tahun itu begitu menarik di matamu?” Donna membanting crush ke lantai semen. Napasnya tersengal dan wajahnya memerah karena marah. Tangannya mengepal di kedua sisi tubuhnya.
Rafdy berjalan dengan tenang ke arah Donna. Dielusnya pipi kanan Donna dengan punggung tangannya. “Lalu bagaimana? Apakah aku harus mencintaimu, begitu?”
Dengan marah Donna mencengkeram tangan Rafdy dengan kuat. “Jaga mulutmu, brengsek!”
“Kau yang harus menutup mulutmu.” Dengan mudah Rafdy melepaskan cengkeraman Donna. Diremasnya bahu Donna dengan kasar. Mata Rafdy berkilat marah. “Kau lebih muda dariku. Kau tahu, kau tidak lebih cantik dari Ibumu.” Lalu ia melepaskan Donna dan pergi ke dalam rumah dengan langkah panjang, tegap, dan angkuh. “Dan ingat, jangan membuang-buang minuman.” ujarnya tanpa menoleh.
Donna mengentakkan kakinya dengan kesal, melepas handuk kimono sembarangan, dan terjun kembali ke air. Aku harus mendinginkan kepalaku, pikir Donna.
***
Di rumah Dina….
“Oh, jadi Ibu masih menemuinya?” tanya Dina.
Donna mengerang kesal. “Tentu saja! Kak Dina, aku tidak tahu harus bagaimana lagi! Aku…aku kasihan pada Dhena dan Gema, tapi aku juga sayang Ibu!”
Dina merangkul adiknya dan mengelus punggungnya dengan sayang. “Tapi kurasa Dhena dan Gema menyayangi Rafdy, dan Rafdy pun sayang pada mereka.”
Donna menatap kakaknya sambil mengerutkan kening. “Kakak pun tahu ia hanya ingin uang Ibu! Ia hanya memanfaatkan Ibu!” Donna menahan air matanya dengan menggigit bibir bawahnya. “Kenapa harus Ibu?”
Dina mengangkat bahu. “Aku tidak tahu. Aku akan bicara dengan Andi, biar ia menasehati Ibu.”
“Suamimu? Kakak, hal ini….”
“Donna, Andi tahu apa yang harus dilakukan.”
“Baiklah, aku serahkan padamu, Kak.” Donna agak tenang melihat senyum Dina. Lihat saja, Rafdy! Takkan kubiarkan kau memanfaatkan Ibuku!”
Dua hari kemudian….
“Ibu, jadi kita akan menonton bioskop bersama?” Dhena bersorak riang. Ia merangkul Ibunya. Dhena adalah adik Donna yang berusia 14 tahun.
Gema menatap ragu. “Kenapa Paman Rafdy tidak ikut dengan kita, Bu?”
Donna melirik Gema kesal. Ia menggigit bagian dalam bibirnya. “Paman Rafdy? Untuk apa ia ikut kalian, Gema?”
Retna mengelus rambut Gema dengan sayang. Ia tersenyum pada anaknya yang berusia 12 tahun itu. “Paman Rafdy sedang sibuk. Apa kau rindu padanya?”
“Ibu!”
Retna memandang Donna. “Sayang, maafkan Ibu.” Retna melirik Gema dan Dhena. “Ayo, Ibu rasa kita harus bergegas, filmnya keburu dimulai.” Retna menggandeng Gema dan Dhena  menuju pintu. “Kau yakin kau lebih suka bersama Andre, Sayang? Hm, Ibu yakin itu adalah pertanyaan retoris.” Retna mengedipkan matanya, lalu berlari dengan kedua adik Donna.  Mereka naik Starlet Metalik, mobil yang dimiliki Retna setelah Retna lulus SMU, saat ia menikah dengan Ayah Donna.
Donna menghempaskan diri ke sofa dan menyetel TV. Beberapa menit kemudian Andre telah duduk di sampingnya. Mereka menikmati DVD yang dibawa Andre. Anime horor Another. Saat Donna sedang tegang menonton Another, tiba-tiba Andre mendorong dan memeluknya ke sudut sofa. Andre bermaksud untuk menciumnya. “Andre, kurasa….”
“Ehem. Malam minggu memang mendukung untuk suasana yang romantis.”
Donna terkejut. Ia langsung bangkit setelah Andre melompat berdiri. Donna merasa sangat malu. Wajahnya terasa panas dan pastinya memerah sampai telinga. “Apa yang kaulakukan di sini? Bagaimana kau bisa seenaknya masuk?” Donna berdiri, menatap angkuh pada Rafdy.
Rafdy mengangkat alisnya Donna tahu, itu kebiasaannya dan balas menatap Donna. “Apa kau tidak tahu? Pintu belakang tidak dikunci. Kurasa Bi Tina lupa menguncinya.” Ia menatap Andre, membuat cowok itu rikuh.
“Kurasa sebaiknya kau keluar, Rafdy!”
“Donna….” Andre berusaha menenangkan Donna, namun Donna tetap menatap angkuh pada Rafdy.
Rafdy melipat lengannya. Malam ini ia mengenakan kemeja pantai dan celana panjang hitam. Rambutnya dipangkas ala Tin-tin. Mau tak mau Donna menyukai penampilan Rafdy. “Andre, sekarang sudah jam setengah sebelas malam. Kurasa remaja seperti kalian tidak baik kencan terlalu malam.”
Andre bermaksud menyanggah ucapan Rafdy, namun keduluan Donna, “oh, begitu? Kurasa perbedaan usia kita hanya lima tahun. Kami mau kencan sampai jam berapa pun, itu bukan urusanmu!”
“Jelas itu urusanku. Apa kau lupa bahwa aku ini calon Ayah tirimu?”
Sebelum Donna sempat membalas kata-kata Rafdy, Andre memegang bahu Donna. “Kurasa benar apa katanya, aku harus pulang.” Andre mengecup pipi Donna ringan lalu tersenyum. “Sampai besok, Donna sayang.” Andre terseyum hormat pada Rafdy, lalu pergi. Donna memandangi kepergian Panther hitam Andre melalui kaca jendela ruang tamu.
“Kau takkan pernah menjadi Ayah tiriku. Takkan pernah!” Donna mencengkeram tirai bercorak ikan tropis dengan latar biru laut.
Rafdy memutar tubuh Donna sehingga mereka berhadap-hadapan. “Aku melakukan hal itu demi kebaikanmu. Tadi kalian bisa saja lepas kendali.” Suaranya tenang. Matanya yang hitam menatap langsung.
Donna membelalakkan matanya. Suaranya bergetar marah saat berkata, “aku bisa menjaga diriku sendiri! Dan kau, Rafdy, Ibu tidak mau melihatmu lagi! Bukankah ia telah memutuskan hubungan denganmu?”
Rafdy mengangkat bahu. Ia berjalan ke ruang keluarga dan menonton anime horor Another yang masih diputar . “Retna takkan memutuskan hubungan denganku karena ia sangat mencintaiku. Begitu pun aku.”
Cinta? Kau tidak mencintai Ibuku, melainkan harta Ibuku! Dasar brengsek! maki Donna dalam hati. “Apa? Ibuku tidak memutuskan hubungan denganmu oh!” Donna mengerang kesal dan putus asa. Jadi nasihat Kak Andi sama sekali tidak dipedulikan Ibu!
“Duduklah, kau tidak mau melanjutkan menonton anime ini?” Rafdy sama sekali tidak peduli akan kepanikan Donna.
“Tidak, terima kasih. Aku mengantuk.” Siapa sudi nonton berdua denganmu!
“Putih….”
“Apa?”
“Kulitmu putih walau kau sering berada di bawah terik matahari.”
Mata Donna yang cokelat muda menerawang. “ Turunan Ayah….”
Rafdy bersandar di sofa empuk berwarna cokelat tua. “Jelas kau tidak menyukai Ayahmu, lalu kenapa kau tidak mau aku menjadi Ayahmu?”
“Tidak!” Donna menggeleng. Ia meremas tangan kirinya sendiri sambil menunduk. “Aku memang tidak menyukai Ayahku, sebab ia pergi beberapa saat sebelum Gema lahir. Tapi bagaimanapun, aku tidak ingin kau menjadi Ayah tiriku! Karena kau hanya menginginkan harta Ibuku!”
Tiba-tiba Rafdy bangkit dan mendekati Donna. Ia mencengkeram bahu Donna dengan kuat. Matanya menyipit, menyelidik. “Jangan kauucapkan hal itu lagi, kau tahu? Aku bukan orang tolol! Aku sungguh-sungguh mencintainya, dan aku lebih baik dari Ayahmu yang tolol itu!”
“Jangan sebut Ayahku tolol!”
“Lalu apa? Bodoh?”
“Kau…!”
Bunyi bel menghentikan pertengkaran mereka. Donna melepaskan diri. Ia memunggungi Rafdy. “Silahkan menemui Ibuku. Tapi ingat, bukan berarti aku menyetujui kalian. Rafdy, jangan hina Ayahku lagi….” Lalu Donna pergi ke kamarnya di lantai atas, sebelum Rafdy membukakan pintu untuk Retna dan kedua anaknya.
Donna mengambil foto berbingkai cokelat muda di laci terbawah meja belajarnya. Ia memandangi foto itu: Ibunya yang sedang mengandung, Dina, Donna, dan Dhena yang digendong oleh seorang pria tampan. Ayah jahat! Kenapa meninggalkan kami semua? Hanya karena wanita iblis itu! Air mata Donna menetes. Ia terus merutuki Ayahnya Hery sambil menangis, hingga terlelap di meja belajarnya.
***
“Kau terlihat ling-ling, Donna. Ada apa?” Andre menyentuh pipi Donna dengan jemarinya. Ia tersenyum sayang. “Kau bisa menceritakan masalahmu. Apakah tentang Rafdy lagi?”
Donna yang sedang bersandar di bahu Andre, mengangguk. Andre merangkul dan menepuk-tepuk bahunya. “Ceritakanlah bila itu membuatmu sedikit lega.”
Donna memandang ke sekitar taman kampusnya yang luas, yang dipenuhi mahasiswa dan mahasiwi yang berlalu lalang, bangku taman, dan pepohonan hijau rindang. Ia sedang berteduh di bawah pohon besar bersama Andre. “Apakah selama ini aku salah, Andre? Aku selama ini menganggap bahwa Rafdy hanya menginginkan harta Ibuku, tapi semalam ia bilang ‘tidak’.” Donna mengangkat bahu. “Memang, adik-adikku, kakakku, kakak iparku, terutama Ibuku, tidak terlalu ambil pusing menanggapi anggapanku tentang Rafdy. Mereka menyukai Rafdy. Kak Dina dan suaminya, Kak Andi, hanya menaruh sedikit curiga pada Rafdy. Kurasa kau pun….”
Andre mengangkat bahu. “Memang, aku menyukai dan menghormati Rafdy. “ Andre terlihat canggung.
“Tapi aku merasa ia tidak sungguh-sungguh mencintai Ibuku…Memang tidak ada buktinya. Malah sebaliknya, Rafdy terlihat sangat menyayangi dan memanjakan Ibuku.”
Andre menepuk kedua pipi Donna. “Itu saja sudah cukup ‘kan?” Andre tersenyum memperlihatkan lesung pipinya.
***
“Baiklah, kau bisa diandalkan, bukan?”
“Ya, Retna.”
“Bagus.” Retna cipika-cipiki sekilas dengan Rafdy. “Aku memercayakan urusan kantor dan keluargaku padamu. Sampai nanti!” Retna menaiki Starletnya dengan anggun, melambai, lalu menghilang dari pandangan.
Rafdy berbicara dengan Bi Tina sebentar, lalu menaiki Taft hijau tuanya, meninggalkan kepulan asap yang membuat Bi Tina terbatuk-batuk.
***
“Apa? Ibu keluar kota untuk urusan bisnis lagi?” Donna meminum air dingin setelah selesai makan malam.
Bi Tina mengangguk. “Tapi Nona tidak usah khawatir karena Tuan Rafdy akan menemani.”
Donna mendengus. “Itulah yang kukhawatirkan. Bilang pada ‘Tuan’ Rafdy, kami tidak butuh perlindungannya.”
“Kurasa kalian membutuhkanku.”
Gema turun dari kursi dan ber-high five dengan Rafdy. “Aku senang Paman mau menemani kami!” Ia melirik tas hitam bergaris merah di dekat kaki Rafdy. “Bawaan Paman hanya sedikit?”
“Ya. Lagipula hanya tiga hari.”
“Waktu yang sangat lama.” Donna berusaha keras untuk tidak membentak-bentak dan mengusir Rafdy. Ia tidak ingin dianggap sinting oleh kedua adiknya. Bi Tina sudah tahu bahwa Donna memusuhi Rafdy, pria yang dianggap tertinggi, terganteng, termacho, dan terseksi yang pernah ditemui oleh Bi Tini. “Maksudku, waktu yang amat sangat singkat, Paman Rafdy….”
Rafdy berusaha menyembunyikan senyumnya. “Tadinya Paman akan mengajak kalian makan pizza, tapi ternyata sudah telat, ya?”
“Kurasa perut kami masih muat, Paman!” Dhena menunjuk perutnya sambil nyengir. “Tambah ice cream?”
Tawa Rafdy terdengar memuakkan di telinga Donna. Bohong, kau menyukainya, Donna! Donna menggelengkan kepalanya, berusaha menghilangkan pikiran sintingnya. Dengan halus Donna menolak ajakan Rafdy untuk makan pizza di Pizza Hut, dengan alasan harus belajar untuk ulangan besok.
Beberapa menit kemudian Donna sedang membaca majalah sambil tiduran di kamarnya. Ia tidak bisa berkonsentrasi sama sekali. Ia cemas memikirkan kedua adiknya. Bagaimana jika kedua adiknya diculik, ditawan, Lalu Rafdy meminta tebusan? Oh, tidak, tidak. Saat ini Donna lebih suka berpikir bahwa Rafdy orang baik-baik, walaupun Donna ragu.
Paginya Donna langsung ke kamar kedua adiknya. Donna menghela napas lega melihat mereka tertidur nyenyak. Donna hampir berteriak saat Rafdy menyentuh bahunya. “Kau membuatku terkejut!” Donna menutup pintu kamar Dhena dan Gema lalu berjalan menuju balkon. Ia yakin Rafdy mengikuti di belakang.
“Hawanya sejuk.” Rafdy meregangkan ototnya. Donna hanya mengangguk tak acuh. “Donna, aku takkan meminta maaf soal aku menghina Ayahmu, karena ia….”
“Karena ia memang tolol yang…yang….” Tangisan Donna teredam oleh pelukan Rafdy. “Lepaskan aku.” Bertolak belakang dengan ucapannya, Donna malah memeluk Rafdy dan ia semakin membenamkan kepalanya ke dada Rafdy yang bidang dan hangat. “Aku benci Ayah!”
Lengan Rafdy melingkari tubuh Donna. Ia mengelus bahu Donna lalu memeluknya dengan erat. Rafdy tidak mengucapkan apa-apa untuk menghibur Donna. Hanya memeluk.
“Rafdy….”
“Ya….”
“Aku harus mandi…ada kuliah.”
Rafdy melepaskan pelukannya. “Mau diantar?”
“Tidak, aku tak butuh.” Donna menatap Rafdy dengan bingung. “Aku tahu, aku merasa nyaman sekaligus tidak nyaman dalam pelukanmu.”
“Kenapa?”
Ia tidak menjawab pertanyaan Rafdy. Donna malah tersenyum sinis, lalu ia masuk ke dalam.
Senyuman menghiasi wajah Rafdy. Ia bersandar di sebuah pilar sambil melipat lengan. “Kalau begitu, aku akan mencari tahu, Manis….” Suaranya nyaris berbisik, dan penuh kerinduan.

“Hei, Donna, ada yang jemput, tuh! Rafdy, kata Ibuku. Kau memberitahu akan belajar kelompok di rumahku, Don? Bukankah  kau tidak suka pada calon Ayah tirimu itu?”
Donna mengerutkan keningnya dan memandang Silvy, temannya. “Tidak, aku tidak memberitahu Rafdy kalau aku di sini. Ini pasti kerjaan Andre!” Donna mengerang kesal. Ia melihat jam di dinding, pukul 20.10. “Aku ‘kan sudah bilang pada Andre kalau kau akan mengantarku pulang, Sil.”
Silvy mengangkat bahu. “Apa perlu kukatakan pada Rafdy bahwa….”
“Tidak perlu. Donna, ayo pulang.” Rafdy berdiri di muka pintu kamar Silvy. Ia mengenakan sweatshirt biru dongker dan jeans biru pudar. “Selamat malam, Gadis-gadis.” Donna tahu, pasti Silvy terpesona oleh senyuman Rafdy. Dan itu memang benar. Sejak pertama bertemu, Silvy sudah terpesona, seperti halnya Bi Tina.
“Rafdy, kami masih belajar, jadi….”
“Ayo pulang, Donna.”
Dengan kesal Donna merapikan alat tulisnya dan memasukkannya ke dalam tas. Ia tidak ingin membuat keributan di rumah Silvy, jadi ia tidak membantah lagi. Dalam perjalanan pulang, Donna menyetel radio keras-keras.
“Kau menyetel musik tapi kau tidak menikmatinya.”
“Kata siapa?”
“Terlihat, tentu saja. Kau memandang keluar jendela, diam, melamun.” Rafdy memindahkan saluran radio. Terdengar alunan lagu yang lembut dan romantis.
Donna tidak mencegahnya. Ia menatap keluar ke kegelapan malam. “Lalu apa urusanmu?” tanyanya ketus.
Tangan kiri Rafdy menyentuh bahunya dan ia tidak berusaha menghindar. Rafdy mengangkat sebelah alisnya, heran karena Donna tidak menolak. Seperti tadi pagi, saat Rafdy memeluknya, Donna malah balas memeluk. “Donna, apa kau benar-benar membenci Ayahmu?”
“Ya.”
“Tapi kenapa kau tetap membela Ayahmu? Oh, aku tahu, kau pasti berpikir bahwa orang hina sepertiku tidak pantas menghina Ayahmu.” Suara Rafdy tenang tanpa emosi, hingga membuat Donna menoleh.
“Itu salah satunya. Meskipun begitu, dalam lubuk hatiku, aku ingin Ayahku kembali….” Lalu Donna tiba-tiba sadar. Ia menggigit bibirnya dengan kesal. “Aku betul-betul bodoh. Aku tidak pernah bercerita pada siapa pun tentang hal ini, tapi aku malah bercerita padamu!”
“Tidak juga pada Andre?”
Dengan enggan Donna menggeleng. Dalam kegelapan, Donna dapat melihat senyum Rafdy.
“Aku mendapat kehormatan, kalau begitu.”
“Ya, yang akan kusesali seumur hidupku.” Donna tersenyum pahit. Seandainya Ayah kembali, pasti Ibu takkan mau menerima. Pasti Ibu masih sangat sakit hati….”
***
Seminggu setelah Retna kembali ke rumah, giliran Rafdy yang tugas keluar kota. Pada hari kedua kepergian Rafdy, Rafdy menelepon. “Oh, hai, Paman. Kau masih hidup?”
“Sayang sekali, aku masih hidup. Boleh aku berbicara dengan Retna?”
“Tidak, ia sedang berbelanja….”
“Berikan telepon itu, Sayang.”
Donna memberikan telepon pada Ibunya sambil menggerutu lalu pergi ke ruang keluarga sambil membawa majalah yang tadi dibacanya. Beberapa saat kemudian Andre datang ke rumahnya. “Malam minggu ini kau terlihat muram.” Andre duduk di sampingnya dan bermaksud merangkulnya. Tak seperti biasanya, kali ini Donna menolak. “Donna? Kenapa? Kau tak suka aku memelukmu?”
“Bukan, aku….”
“Apa ada pria lain?”
Donna membelalakkan matanya terkejut. “Aku tidak tahu, aku….”
“Aku tahu ada yang lain, Donna. Rafdy ‘kan.”
“Tidak! Apa kau gila! Dia kekasih Ibuku! Calon Ayah tiriku! Dan aku sangat membencinya!”
Andre menenangkan Donna. “Tak perlu marah. Aku tahu Donna, aku peka soal dirimu.”
Wajah Donna memerah. Ia memejamkan matanya. Ia menyandar ke punggung sofa, putus asa. Tubuhnya gemetar dan jantungnya berdegup kencang.  “Aku tidak tahu, Ndre. Aku benci Rafdy, tapi entah kenapa akhir-akhir ini aku selalu salah tingkah di dekatnya. Tadi ia menelepon, dan aku kesal. Ia menelepon Ibu, bukan aku.” Donna tertawa putus asa. “Aku sudah gila….” Andre memeluknya. “Andre, maafkan aku….”
“Untuk saat ini biarkan aku memelukmu….”
***
Terkejut. Mungkin itu adalah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan Donna saat ini. Donna ternganga menatap sosok di hadapannya. “Ayah?”
Hery memandang Donna, matanya berkaca-kaca. “Kau banyak berubah, Donna. Kau tambah cantik dibanding dua belas tahun yang lalu.”
Donna ragu, dengan canggung ia memeluk Ayahnya. “Sepertinya Ayah tambah kurus.”
Hery merangkul putri keduanya itu dengan erat dan penuh kerinduan. “Donna, apa kau tidak membenci Ayah?”
Donna mundur selangkah. “Waktu itu Ayah khilaf, bukan? Ayah tidak sungguh-sungguh mencintai Tante Utami, bukan?”
Hery memandangnya. “Dulu Ayah berpikir bahwa Ayah mencintai Tante Utami. Tetapi setelah beberapa bulan menikahinya, Ayah baru menyadari siapa yang benar-benar Ayah cintai….” Hery menahan tangisnya.
“Aku dulu membenci Ayah. Tapi aku selalu memikirkan Ayah. Aku tahu dari Ibu bahwa pernikahan Ayah hanya berlangsung beberapa bulan saja, bercerai, tanpa anak.” Donna menggigit bibir bawahnya. “Kenapa Ayah tidak kembali?”
“Setelah Ayah bercerai dengan Tante Utami, Ayah pernah mencoba beberapa kali agar Ibumu menerima Ayah lagi. Namun Ibumu selalu menolak. Dan menurut Ibumu, anak-anak Ayah membenci Ayah, kau dan Dina tepatnya.
”Kakak, ada siapa?” Dhena menghentikan langkahnya dan memandang pria yang merangkul kakaknya itu. Ia berusaha mengenali wajah pria itu. “Wajahmu mirip dengan di foto, pria yang menggendongku…apakah…Ayah?”
“Dhena Sayang….”
Dhena menghambur ke pelukan Hery. “Ayah, kau benar-benar Ayah? Ayah ke mana saja selama ini?”

Untuk kedua kalinya, Donna terkejut hari ini. Ia menatap Ibunya. “Apa? Jadi…?”
“Ya, jadi beberapa bulan yang lalu Ayahmu kembali menemui Ibu. Dan setelah berpikir masak-masak, akhirnya Ibu menyadari bahwa Ibu masih teramat mencintai Ayah, dan ingin menikah lagi dengan Ayah.”
Donna, Dina dan suaminya, kedua orang tuanya, dan Rafdy tengah duduk di ruang keluarga. Dhena dan Gema sudah tidur di kamar mereka karena waktu telah menunjukkan pukul 11.15. “Lalu bagaimana dengan Rafdy? Apakah ia bagian dari sandiwara ini?”
“Pemeran utama. Rafdy adalah sahabat Ayahmu, yang mendamaikan kami.” Retna tersenyum pada Hery dan Hery merangkulnya hangat.
“Ibu….” Dina yang sedari tadi diam mulai bicara. “Apa maksudnya pemeran utama?”
Retna mengangkat bahu. “Mengetes. Apakah kalian ini masih membenci Ayah atau tidak. Ibu takut kalian tidak mau menerima Ayah karena Ibu tahu, kalian tidak menyukai pengkhianatan Ayah seperti juga Ibu.”
“Jadi Rafdy turun tangan.” Hery meremas tangan istrinya. “Dan 2 minggu yang lalu, Donna mengakui isi hatinya tentang Ayah. Begitu juga Dina.”
Donna memandang pria yang sedang diperbincangkan. Pria itu duduk dengan santai di sofa. Kaki kanannya ditumpangkan di kaki satunya. Matanya yang hitam balas memandang Donna. Ia sama sekali tidak tersenyum. Tiba-tiba ia berdiri. “Oke, kurasa semua sudah beres. Aku harus menyingkir, lagipula sudah malam.”
Hery memintanya untuk menginap namun Rafdy menolaknya dengan halus.
Donna memandang kosong ke arah Rafdy yang meninggalkan ruang keluarga, diantar Hery, Retna, Dina, dan Andi. Pergi? Menyingkir? Apakah maksudnya Donna takkan bertemu lagi dengannya? Donna merasa dadanya sesak dan tubuhnya gemetar. Ia langsung berdiri dan berlari mengejar Rafdy. Ia sampai menabrak Ibunya di teras depan. Di halaman tempat Taft Rafdy diparkir, Donna menarik tangan pria itu. Napas Donna tersengal dan tak terasa pipinya telah basah. “Aku belum minta maaf padamu! Selama ini aku selalu bersikap kasar!”
Rafdy terkejut, hanya sedetik. Ia tersenyum dan menghapus air mata Donna. “Wajar saja. Jika aku jadi kau, kurasa aku akan melakukan hal yang sama.” Rafdy menatapnya lembut. “Baik-baiklah dengan Andre.”
“Kami sudah putus.” ujar Donna cepat. Seperti dugaan Donna, Rafdy mengangkat sebelah alisnya. Karena itu Donna meneruskan, “karena ada pria lain….”
“Begitu?”
“Pria itu…kau, Rafdy.”
Kali ini Rafdy benar-benar terkejut. Ia memandang ke teras yang ternyata telah kosong. Wajah Rafdy memerah dan ia berdiri canggung. “Aku tidak tahu harus berkata apa.”
Donna tersenyum. Ia mengusap air matanya yang masih terus mengalir. Ia menahan rasa sakit di dadanya. “Aku tahu, kau benar-benar mencintai Ibuku. Sikapmu pada Ibu sepertinya nyata.”
“Hei, Nona, jangan sembarangan. Aku menghormatinya, tidak lebih.” Rafdy menarik napas dan menghembuskannya perlahan. “Sebenarnya aku tidak suka untuk mengakui rahasiaku. Sepuluh tahun lalu aku bertemu Ayahmu, dan Aku jatuh cinta pada pandangan pertama padamu saat melihat fotomu yang selalu dibawa-bawa Ayahmu.”
“Kau bohong!” Jantung Donna berdegup kencang.
Rafdy menyelusupkan kedua tangannya ke belakang leher Donna, menyibakkan rambut panjang Donna, dan menariknya mendekat. Angin malam menerpa mereka, membuat Donna menggigil. Rafdy mempererat pelukannya. “Sungguh. Tapi aku agak takut juga saat kau memelototiku sewaktu Retna memberitahukan bahwa kami berpacaran.” Rafdy tersenyum mengingat hal itu. “Apakah kau sungguh jatuh cinta padaku?”
“Ya….”
“Boleh aku tahu ucapan nyaman tidak nyaman itu?”
“Yah, aku merasa aneh…entah kenapa aku merasa nyaman dalam pelukanmu, tapi tentu saja tidak nyaman karena kau pacar Ibuku….” Donna tersipu. Ia mencengkeram kemeja Rafdy. “Tadi kau bilang akan menyingkir? Jangan pergi, Rafdy. Tetaplah di sini.”
“Aku hanya pulang ke apartemenku, karena sudah malam.” Rafdy tidak bisa menahan senyumnya. “Yah, tadinya aku berniat pulang ke kota asalku, tapi karena ternyata aku tidak bertepuk sebelah tangan, jadi…aku akan tetap di sini menemanimu.”
Donna tersenyum penuh harap. “Sungguh?”
“Benar. Kalau begitu, kau mau menjadi kekasihku?”
“Mau!” Donna menjawab dengan semangat.
 “Baiklah, selamat malam.” Rafdy melepaskan pelukannya dengan enggan, karena sebenarnya  ia masih ingin memeluk Donna. “Boleh aku mengantarmu ke kampus besok?”
Donna mengangguk. “Sampai besok! Oyasuminasai!”
“Apa?”
“Have a nice dream.” Donna mengecup pipi Rafdy dengan malu-malu, lalu berlari masuk ke dalam rumah.
Rafdy terkejut karena Donna mencium pipinya. Ia tersenyum lembut. Ia berbalik dan menaiki Taftnya, lalu melajukan Taftnya dengan santai, sementara dadanya bergemuruh. Yes, akhirnya Donna jatuh cinta padaku! Rafdy tidak bisa tidak tersenyum. Ia bersiul-siul gembira menuju apartemennya. Ia berpikir ia tidak akan bisa tidur, tak sabar menanti hari esok untuk bertemu kembali dengan Donna, gadis yang selama sepuluh tahun ini selalu dirindukan dan hadir dalam setiap mimpi-mimpinya!
TAMAT

WANT YOU

WANT YOU
Oleh Bella Danny Justice

“maafkan aku fi, aku menyukai Priscilla. Aku mendekatimu supaya aku bisa kenal dengannya. Maafkan aku...”

Sudah 1 tahun berlalu tapi perkataan Jun masih teringat jelas dalam pikiranku. Setelah hubungan yang kami jalin selama 5 bulan, akhirnya ia mengaku bahwa ia berpacaran denganku hanya supaya ia bisa dekat dengan kakakku Priscilla. Pertama kali aku mendengar kata-kata itu keluar dari mulutnya aku memang merasa sangat jengkel. Aku seperti manusia bodoh, mudah di bohongi dan di sakiti.

Namun sekarang aku bukan lagi seorang perempuan berseragam putih abu-abu yang terkenal labil. Aku sudah menjadi mahasiswi dan aku harus bangkit dari keterpurukanku dalam masalah percintaan. Sedangkan kakakku Priscilla kini tengah menjalani praktek di rumah sakit Kasih Bunda yang terkenal.

Dari lahir aku tidak pernah akrab dengannya, apalagi karna masalah Jun aku jadi semakin membencinya. Dia selalu merebut pria yang dekat denganku sejak SMP. Tak terlukiskan rasa kekesalanku pada Kak Silla. Aku layaknya bom waktu yang dapat meledak kapan saja, terlebih jika menyangkut hal yang berurusan dengan kakakku.

“Fi, tolong kasih bekal makan siang ini ke kakak kamu ya. Kampus kamu kan searah sama rumah sakit Kasih Bunda.” Mama menyodorkan rantang makanan itu kepadaku. Tapi aku tidak segera mengambilnya. Melihat rantangnya saja membuat hatiku panas, apalagi memberikannya pada nenek sihir itu.

Aku melirik sekilas rantang makanan tak berdosa itu. “Ngga ah ma! Aku ga mau! Mama suruh mas Jono aja yang anterin ke kakak. Lagian aku nanti bisa telat masuk kelas kalau harus mampir dulu ke rumah sakit.” Sangkalku.

“Gak bisa Fi, mas Jono mau servis mobil. Udah nih pokoknya mama ga mau tau kamu harus kasih ini sama kakak kamu, titik!” mama menarik tanganku dan menyangkutkan genggaman rantang itu kedalam telapak tanganku dengan paksa.

Hahhh...benar-benar hari yang menyebalkan! Keluhku dalam hati.

Sesampainya dirumah sakit aku langsung memasuki ruang praktek kerja kakakku tanpa permisi. Tapi beberapa saat aku mencari-cari sosoknya rupanya ia tidak ada. Yang aku lihat hanya seorang pasien sedang berbaring di ranjang dengan matanya yang diperban.

Ia terbangun dari posisi rebahannya dan bersandar di punggu ranjang. “Dokter Silla, apa itu kau?” aksen bicaranya seperti orang barat, bahasa Indonesianya pun terdengar kurang fasih.

“Mmm...ma-maaf aku bukan Dokter Prisicilla, aku kemari hanya ingin mengantarkan bekal makan siang ini untuknya. Maaf ya, aku permisi dulu.” Jawabku seperti orang salah tingkah. Aku meletakkan rantang itu dengan kasar dan bersiap pergi dari sana.

“wait up!” sahutnya membuatku menghentikan langkahku yang tergesa-gesa.

“what else?” aku menoleh ke arahnya dan menengok jam tangan dengan gelisah.

“who are you?” tanyanya dengan nada datar dan dingin.

“i’m Fioren, Priscil’s little sister. Sorry, i have to go now. Bye.” aku langsung mengaktifkan langkah seribu untuk mengejar waktu yang sangat mepet untuk sampai ke kampus.

Oh My God! Bisa telat nih!
###

Dengan selamat sentosa aku sampai kelas tepat waktu, tetapi selama jam kuliah berjalan hatiku tidak tenang. Aku gelisah dan terus memikirkan pasien laki-laki yang ada di kamar praktek kakakku itu. Konyol sekali, tapi aku ingin bertemunya lagi. Rasa penasaranku ini tak dapat terbendung, dengan nekat sepulang kuliah aku pun memutuskan untuk datang ke tempat kakakku.

“eh Fi, mau kemana? Kita ga jadi nonton?” ujar Gisel. Ia memperhatikanku yang sedang merapihkan buku seperti orang kebakaran jenggot.

“aduh..jangan sekarang deh Gis! Gue ada urusan nih, besok aja ya. Byee..” seruku seraya meninggalkan kelas dan melambaikan satu tangan pada temanku Gisel.

Tiba-tiba.. BAAAMM!!

“aduduh...awhh...” erangku kesakitan. Tubuhku jatuh terduduk ke lantai dan buku-buku yang ku pegang berhambur berantakan. Tak lama aku melihat guliran tangan yang seolah berkata “mari, aku bantu kau berdiri.”

“maaf, aku tidak sengaja. Mari, aku bantu kau berdiri.” Aku meraih genggaman tangan itu lalu menyibakan debu yang menempel di celana panjangku.

“sekali lagi aku minta maaf.” Katanya lagi. Pria ini tampan sekali... pujiku dalam hati.

“ah, ya tidak apa-apa.” Ucapku sambil menorehkan senyum sekenannya. Aku baru ingat bahwa aku ingin ke tempat praktek kakakku. Ya ampun, kalau jam segini pasti ia sudah pulang. Dengan terpaksa aku mengurungkan niat untuk pergi kesana.

“ini..” Laki-laki itu mengulurkanku buku-buku yang tadi berserakan kepadaku.

Aku mengernyitkan dahi dan menatap matanya sepintas. “t-terimakasih, maaf aku sudah menabrakmu.” Pria ini...sepertinya aku mengenalnya? Aku kembali memperhatikan wajahnya dengan seksama. Memandang wajahnya-membuang pandanganku-memandang wajahnya-membuang pandanganku... Aku ingat orang ini!

“oya, aku harus buru-buru pulang untuk menyiapkan makan malam. Bye.” Aku tau orang ini, karena itu aku mencari alasan ingin “menyiapkan makan malam” lalu segera pergi dari hadapannya. Ya, walaupun sebenenarnya aku tidak bisa memasak, tapi itu satu-satunya alasan yang melintas di otakku.

Pria itu menahan aku. Ia menarik pergelangan tanganku. “jangan pergi Fioren, aku harus menjelaskan sesuatu padamu.”

Jun, apa lagi yang kau inginkan dari diriku? Tidak puaskah kau telah menyakitiku? Kenangan masa lalu seakan muncul kembali ke permukaan. Aku sungguh tidak menginginkan ini terjadi. Tapi, tak kupungkiri aku masih menyimpan rasa terhadapnya.

Kami pergi ke suatu restauran yang begitu asri dan indah pemandangannya. Aku tidak tau tempat apa ini. Aku tidak tau kemana ia membawaku. Yang aku tau sekarang aku berada di sebuah daerah pegunungan. Sudah 3 tahun aku tidak bertemu dengannya semenjak kelas 1 SMA karena aku meminta pada mamaku untuk pindah sekolah, dan selama itu juga aku bisa lihat penampilannya berubah dari yang dahulu.

Sekarang ia terlihat lebih tinggi dan rambut spikenya kini berubah dengan poni menyamping yang menutupi sebagian keningnya. Tidak salah kalau aku pernah jatuh cinta padanya, meskipun ia hanya mempermainkanku tetapi aku tidak menyesal.

“mm.. Fio, apa kau masih memendam kebencian padaku?” tuturnya membuka pembicaraan di tengah kesunyian kami.

“hanya saat kau mengatakan bahwa kau menyukai kakakku.. hanya saat itu aku membencimu..” ucapku tanpa menatapnya dan melemparkan pandangannku pada pegunungan yang diselimuti kabut tebal.

“aku datang menemuimu karna aku ingin mengatakan suatu hal yang dulu tidak sempat aku sampaikan..” wajahnya nampak pucat pasih karna gugup. Jun menelan ludahnya dan berusaha memandangku.

“setelah aku menyatakan perasaanku pada kakakmu, ia menolakku. Dan ketika itu aku sadar bahwa aku benar-benar menyukaimu. Dulu aku tidak bersyukur telah mendapatkan wanita sepertimu. Karena itu, sekarang... aku sungguh minta maaf kepadamu Fi, aku ingin kau kembali menjadi wanita-ku.” Ia menatapku dengan wajah memelas dan kening yang berkerut sedih.

Aku tidak peduli lagi. Aku sudah melupakannya. Aku meninggalkan Jun dari tempat makan itu. Aku tidak tahan mendengar kata-katanya. Aku ingin bersama dengannya, tapi entah mengapa ada sesuatu yang mendorongku untuk tidak menerimanya lagi.
###

Sepanjang malam aku hanya berbaring di atas tempat tidur dan membenamkan wajahku ke dalam bantal. Aku terus mengingat-ingat pria itu. Bukan Jun, tetapi pria yang ada di kamar praktek kakakku. Tapi sepertinya pria itu kenal dekat dengan kak Priscil? Karena hanya orang-orang tertentu saja yang memanggilnya dengan sebutan “Silla”. Yaa...mungkin itu pacarnya? Gumamku.

Tiba-tiba saja terdengar ketukan pintu yang membuyarkan andai-andaiku. “Ren, kakak boleh masuk?” seru suara itu. “Ren” adalah panggilan masa kecilku yang diberikan oleh Kak Silla.

“ya.” Jawabku bermalasan-malasan. Kakaku yang paling tidak aku sukai mulai memasuki kamarku. Ia berjalan ke arahku dan duduk di sampingku. “Ren, kamu yang anter makan siang tadi ke tempat praktek kakak ya?”

“iya.” Aku hanya menjawab sekenannya tanpa menoleh padanya.

“mmm...terimakasih ya Ren. Ini ada sesuatu untuk kamu.” ia mengeluarkan sebungkus bingkisan dari belakang tangannya. Sebuah kotak kado berwarna pink bermotif love lengkap dengan pitanya yang juga berwarna pink. Aku berpikir ini tidak mungkin hadiah dari kak Silla. Kak Silla yang melihatku tanpa reaksi akhirnya menjelaskan asal-usul tentang hadiah itu. “ini dari seseorang untuk kamu Ren. Dia ingin memberika hadiah ini untuk kamu. Coba bukalah dulu.”

Perlahan aku mulai melepas pitanya dan membuka tutup kado tersebut. Aku sungguh dibuat terkejut oleh hadiah dari orang itu! Sebuah kotak musik dengan lapisan warna emas dan putih yang berukuran sedang, serta terdapat seorang wanita dan pria yang berdansa dengan anggun di atasnya. Lalu aku memutar katup kotak musik itu... dan... melantunlah lagu klasik yang begitu indah. Lagu ini... aku kenal lagu ini! Lagu klasik favoritku! Atau bisa dibilang satu-satunya lagu klasih yang aku tau dan aku suka saat pertama kali mendengarkannya yaitu Nocturne no.2 in E-Flat Major, op.9 no.2 oleh Frédéric Chopin versi dari Vladimir Ashkenazy.

Lantunan merdu denting piano yang keluar dari speaker kotak musik itu membawaku terhanyut ke dalamnya. Hatiku terasa tentram, seperti ada ketenangan di balik lagu ini. Lagu ini mampu membuatku tersenyum dan bersedih pada waktu yang bersamaan.

“hadiah itu pemberian seseorang. Dia berharap kamu menyimpannya Ren.” Kalimat yang diucapkan kak Silla membuatku tersadar. Aku masih tidak mengerti apa maksud orang itu memberikan hadiah ini untukku, tapi yang pasti aku tidak akan menolak kado indah ini.

“ya. Sampaikan terimakasihku kepadanya.” Hanya itu yang bisa aku katakan, untuk saat ini aku belum ingin tahu siapa yang memberikan bingkisan berharga ini.
###

Sesuai janjiku pada Gisel karna kemarin tidak bisa nonton dengannya, seusai jam kuliah kami pun pergi ke mall dan menonton film. Gisel mengajakku makan di American Grill tetapi sekarang aku sedang tidak selera makan makanan barat. Ketika kedua mataku menangkap keberadaan stand food yang menjual makanan Jepang sederahana kesukaanku Okonomiyaki, aku pun segera melesat ke sana dan membelinya.

“enak kan Gis? Makanya jangan makan makanan barat melulu! Coba makan makanan dari kebudayaan lain juga dong, apalagi Okonomiyaki dari Jepang ini.” Pamerku pada Gisel sambil terus melahap makanan itu dengan sumplit yang begitu tipis dan sedikit membuatku kerepotan.

“iya iya kali ini kamu menang Fi! Aku akuin ini enak banget.” Balas Gisel yang juga tidak berhenti memakan makan itu dan sesekali menyeruput Blue Iced-nya.

Tanpa kami sadari seseorang telah berdiri di hadapan kami. Ia terus menatapku dan tiba-tiba ia menaruh sekotak Okonomiyaki lainnya di atas mejaku. “ini, makanlah yang banyak. Okonomiyaki adalah hidupmu, bukan? Bahkan dulu saat kecil kau pernah merengek kepada kakakmu dan memarahinya karna ia tidak membelikanmu makanan itu.” lalu pria itu melangkah pergi dengan santai sambil memasukan kedua telapak tangannya ke dalam saku celana panjangnya.

Aku terbelalak dibuatnya. Bagaimana bisa orang asing seperti dia tau tentang masa kecilku?! Ketika aku terbangun dari lamunanku, aku langsung berlari mengejar ke arah pria itu tadi berjalan namun aku tidak menemukannya. Dia sepertinya sudah pergi.. tapi siapa dia? Ujarku dalam hati.

Gisel yang mengejarku mati-matian akhirnya mendapatkanku. “heh Fi cepet banget sih larinya! Aku hampir kehabisan nafas nyusul kamu, tau?!”

Siapa laki-laki tadi? Tapi sepertinya tidak asing...

Aku sudah tidak tahan dengan semua ini. Aku ingin penjelasan! Setelah mengantar Gisel kerumahnya aku segera membalikan stir mobil ke arah tempat praktek kakak ku bekerja. Aku merasa dia tau akan hal ini. Aku merasa dia punya andil atas keanehan yang terjadi padaku belakangan ini.

Dengan langkah berdebum aku menuju ke sana. Entah mengapa hatiku sekarang seperti air mendidih, aku takut emosiku meluap ketika mengetahui semuanya. Aku takut aku menyesal karena telah datang ke sini.

Akhirnya aku tiba di depan pintu kamar praktek kakak ku. Aku menyentuh gagang daun pintu itu dan bersiap mengayunkanya ke bawah, tapi niatku terhenti saat mendengar percakapan yang sedang teruntai dari dalam ruangan.

“aku sudah memberikan hadiah itu kepadanya. Ada lagi yang ingin kau sampaikan untuknya?” suara kak Silla begitu jelas terdengar. Apa hadiah yang dia maksud adalah kotak musik itu?!

“tidak perlu. I just met her, dan itu sangat menyenangkan. I saw her face was full of questions of who i am saat aku memberikan Okonomiyaki kepadanya and mengatakan kejadian masa kecilnya dulu about that food.” Ujar orang itu sambil terkekeh. Apa?!

“apa? Kau berani sekali! Why don’t you just tell the truth?” balas kak Prisicilla.

“i don’t have such courage to say.” Kali ini suara pria itu melemah dan terdengar putus asa.

“aku yakin adikku pasti akan menerimamu.” Aku tidak sabar lagi! Dengan perasaan yang kacau aku memasuki ruangan tersebut. Dan terpampanglah pemandangan yang tidak mengenakan kedua mataku. Kakaku sedang berpelukan dengan pria itu! Aku hanya berdiri mematung menyaksikannya. Air mataku bahkan tidak dapat keluar, tetapi di dalam, hatiku menjerit. Tenggorokanku tercekat sehingga tak ada sepatah katapun keluar dari mulutku. Aku tidak tau mengapa kejadian yang ku liat ini begitu menyakitkan padahal aku tidak mengenal pria itu.

Aku melangkah pergi dari sana dengan keadaan tubuh yang agak limbung dan kepala yang berkunang-kunang. Kaki ku melemah, seluruh syarafku seperti terhenti yang alhasil membuatku jatuh pingsan.

seseorang sepertinya menggendongku? Aku bisa merasakan nafasnya yang tersengal-sengal, di dalam pelukannya aku merasa nyaman. Aku juga bisa mendengar denyut jantungnya yang berdetak cepat, ia nampaknya begitu khawatir dengan keadaanku. Aku ingin sekali melihat orang ini, tetapi mataku tidak dapat terbuka...
###

Aku tidak tau sudah pingsan selama berapa jam, tetapi yang pasti sekarang mataku seperti menempel dan aku kesulitan membuka kelopak mataku. Namun usahaku yang gigih membuahkan hasil yang manis. Ketika mataku sudah benar-benar terbuka, yang aku lihat hanya kak Prisicilla yang duduk di sisi kiri ranjang tempat aku terbaring dan seorang pria yang sedang terlelap di sisi satunya sambil... menggengam tanganku?!

“Fioren, kamu sudah sadar?!” kak Priscil tersentak melihat aku yang sudah siuman. Ia langsung mengecek keadaanku secara seksama menggunakan stetoskopnya. “kamu baik-baik saja bukan? Maafkan kakak Ren,” sambung kakakku itu. Karena reaksi kak Priscil yang cukup menghebohkan pria itu pun terbangun dari tidurnya.

Fioren, you’re awake? are you all right?” cara pria itu mencemaskanku terasa tidak aneh bagiku. Aku justru merasa bahagia akan kekhawatirannya. Tapi, siapa dia?

“siapa kau?” aku tidak yakin suaraku akan terdengar jelas karena kerongkonganku sedikit sakit ketika bersuara.

“Fioren, dia Daniel... dia teman kakak saat di panti asuhan dulu.” Sela kak Priscill. Dia nampak pucat saat mengucapakan kata-kata itu.

“panti asuhan? Apa maksudmu?!” aku sengaja menaikan intonasi pembicaraan. Jadi selama ini Priscilla adalah kakak angkatku?

“mama dan papa berencana untuk tidak pernah mengatakan hal ini kepadamu, tetapi aku tidak bisa menyimpan rahasia akan siapa diriku selamanya karena kelak kau pasti menyadarinya.” Wanita yang kukenal sebagai kakak kandungku menghentikan kalimatnya sejenak, ia menghela nafas dan melanjutkannya. “saat dulu kau masih kecil sekitar umur 7 tahun kau dan orangtuamu datang ke panti asuhan untuk menjemput aku, tetapi kau begitu marah dan tidak setuju, kau berlari sampai ke tengah jalan dan sebuah mobil hampir menabrakmu, syukurlah itu tak terjadi. Dia... Daniel teman sebayaku yang menyelamatkanmu. Kau pingsan dan Daniel menggendongmu dengan tergopoh-gopoh, tapi Daniel tidak menyerah. Namun ketika kau sadar, kau menangis sangat keras begitu melihat Daniel. Sejak saat itu Daniel terpukul atas sikapmu. Ia me...”

let me tell the rest Silla. Aku menyukaimu Fioren, karena terlalu menyukaimu akhirnya aku memutuskan pergi dari kehidupanmu. Kebetulan aku juga mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah di Amerika dan aku mengambil kesempatan itu sekaligus untuk melupakanmu. Selama 11 tahun aku tinggal di sana tetapi tidak kunjung menemukan pengganti dirimu, setiap malam aku selalu terbayang wajahmu yang ketakutan saat melihatku... aku sangat merindukanmu dan ingin bertemu tapi aku tidak mau membuatmu menangis...” Daniel menghentikan ceritanya. Ia tertunduk lurus menghadap lantai rumah sakit. Aku bisa mendengar suaranya yang serak seakan tak sanggup melanjutkan cerita masa lampaunya yang memilukan.

Tubuhku bergerak dengan sendirinya. Perlahan langkah kakiku menghampiri pria yang di sapa Daniel itu. Aku tidak lagi menangis ketika melihatnya, tetapi justru aku sangat bahagia. Aku tidak tau apa yang dulu telah terjadi sehingga aku bersikap begitu kejam terhadapnya. Aku tidak mengerti mengapa aku tidak bisa mengingatnya. Tapi kini semua sudah jelas. Inikah sebabnya mengapa aku sangat ingin bertemu dengannya sejak pertama kali bertemu dia? Maafkan aku Daniel...

Aku menyentuh pundak laki-laki itu dan berkata. “maafkan aku Daniel... aku janji tidak akan menangis lagi karena melihatmu, justru sekarang aku sangat bahagia...”

Daniel menengadahkan kepalanya dan menatapku tak percaya. Ia berdiri dan mendekapku ke dalam pelukannya. “thank you Fioren.”
###

Keesokan harinya mama dan papa menjelaskan bahwa dulu aku sempat menderita amnesia anterograde dan retrograde secara bersamaan. Aku tidak mampu mengingat kejadian sebelum hampir tertabrak mobil dan tidak dapat mengingat kejadian setelahnya karena trauma parah. Aku tercengang mendengarnya. Karena itu kah aku sampai melukai perasaan Daniel?

Di tengah-tengah keheningan kamarku yang hanya dihiasi oleh lantunan musik klasik pemberian dari Daniel handphone-ku berdering dengan nyaringnya. Aku melirik layar hape itu dan melihat sebuah nomer yang tidak ku kenali.

Aku menempelkan benda kecil itu ke telinga. “siapa ini?”

“ini aku Jun, Fioren.. tolong jangan matikan telfonnya.” Pinta suara itu dari sebrang dengan nada lemah lembut.

“ada apa lagi?” jawabku sekenannya.

“aku ingin bertemu denganmu. Besok aku jemput sehabis jam kuliah.” Kemudian sambungan telfon itu terputus begitu saja. Dasar seenaknya! Kau pikir siapa dirimu?!

Pria menyebalkan! Gerutuku dalam hati.

Besok hari setelah jam kuliah berakhir aku bergegas meninggalkan ruangan supaya tidak bertemu Jun. Namun harapanku tampaknya tidak terkabul. Ia sudah menungguku di depan pintu dengan beberapa wanita yang kelihatan sedang mengaguminya. Dasar wanita-wanita bodoh!

“aku cuma ingin bertemu denganmu untuk terakhir kalinya Fioren. Jadi aku mohon kau jangan kabur seperti waktu itu.” ucapnya kemudian menarik pergelangan tanganku dan memasuki mobil.

“kita mau pergi kemana? Aku ada janji dengan seseorang jadi jangan lama-lama.” Ujarku ketus tanpa memandangnya.

“tidak lama, aku juga ada janji dengan seseorang kok.” Balasnya

Beberapa saat kemudian tibalah kami di sebuah... Bandara?! Aku tidak tau apa yang sedang direncanakan oleh Jun. Tetapi aku rasa ini akan sangat mengejutkan.

Tiba-tiba Jun menunjuk ke suatu arah sambil berkata. “ah itu dia! Ayo Fioren!” ia kembali menarik tanganku dengan cukup keras dan membuatku sedikit tidak nyaman namun aku tak dapat mengelaknya. Kami berjalan mendekati seseorang yang sedang berdiri tegap menghadap ke arah luar jendela transparan yang besar.

“hai Daniel!” sahut Jun dengan semangatnya. Apa yang dia katakan barusan?! Daniel?! Pria yang di panggil Jun sebagai ‘Daniel’ itu pun membelokan badannya dan perlahan berhadapan dengan aku dan Jun. Ini benar-benar suatu surprise yang tak terduga! Aku tak dapat bergerak dan mematung di samping Jun. Bagaimana mungkin?! Apa dunia sesempit ini?! Jun mengenal Daniel?!

“Fioren... k- kau? Kau kenal dengan Jun?” Daniel mengucapkan kalimatnya dengan sedikit terbata-bata. Aku rasa dia juga sama shocknya seperti aku.

Jun tertawa terbahak-bahak melihat kekikukkan yang menimpa kami. Ia tertawa dengan lepasnya dan membuatku jengkel seolah ia meledekku! “kenapa kau tertawa?!” bentakku padanya yang seketika menghentikan tawanya.

Jun meraih tangan kananku dan ia juga meraih tangan kiri Daniel. Ia meletakkan tangan Daniel di atas punggung tanganku dan menyatukannya. “tetaplah bersama sampai maut memisahkan kalian. Sudah waktunya aku untuk kembali ke Amerika. Daniel, jaga Fioren dengan baik! Itu perintahku. Selamat tinggal semuanya.” Jun, pria itu menyunggingkan seulas senyum manis sesaat sebelum meninggalkan kami berdua. Aku tidak percaya bahwa ini sungguh pertemuan terakhir antara aku dan dia.

Aku berlari mengejarnya dan memeluknya dari belakang. Ia menghentikan langkahnya dan membalas pelukanku. “terimakasih untuk semuanya Fioren. Aku senang bisa mengenalmu.” Jun memegang pundakku dan mengendurkan dekapannya. Ia terus berjalan sampai aku tak dapat lagi melihatnya.

Aku rasa baru saja beberapa tetes air mata berjatuhan membasahi pipiku. Aku menghapusnya tetapi semakin banyak linangan air mata yang keluar. Lalu aku merasakan seseorang mengegam erat bahuku. Ia membelai rambutku dan menciumnya dengan lembut. “don’t cry, i’ll always be by your side
###

2 tahun kemudian...

Hari ini adalah hari yang sangat membahagiakan bagi keluargaku, terutama kakak angkatku yang sudah kuanggap seperti saudara kandung sendiri yaitu Kak Priscilla. Ia merayakan pesta pernikahannya dengan pasangan yang juga seorang dokter keturunan barat bernama Fritz, sedangkan aku menjadi pengiring pengantin untuk kakakku.

Aku berharap suatu hari nanti aku dapat menyusul kakakku bersama Daniel. Tetapi aku rasa aku harus menundanya karena Daniel sekarang sedang melanjutkan study S2-nya di Amerika. Ia berjanji setelah semua urusannya selesai kami akan segera menikah dan aku menunggu akan hal itu. Seharusnya sejak 1 minggu yang lalu dia sudah kembali ke Indonesia, namun tidak ada kabar darinya. Aku sedikit kecewa dan cemas akan sikapnya belakangan ini. Aku takut ia memiliki wanita lain di sana dan membatalkan rencananya denganku.

“hei, Fioren! Kenapa tidak ikut dengan yang lainnya untuk memperebutkan buket bunga pernikahan kakak!? Siapa tau kau yang mendapatkannya dan bisa segera menyusulku.” Ucapan kak Silla yang cukup kencang membuatku malu. Aku sebenarnya tidak ingin ikut berpartisipasi dalam hal ini, tapi yasudahlah...

Saat kak Silla menghitung dari 1 sampai 3 ia langsung melemparkan buket bunga itu ke belakang tepat ke arah para undangan yang hadir dan berebutan untuk mendapatkannya.
“will you marry me Fioren?” perkataan seseorang itu membuatku yang sedang meneguk segelas sirup stroberri tersentak.

Aku menoleh ke arah suara itu. Aku melihatnya! Daniel datang! Ia dengan buket bunga yang dilempar tadi oleh kakakku! Ia berlutut dengan satu kaki dan mempersembahkan buket bunga itu. Tanpa ragu aku meraihnya dan berkata. “yes, of course!” aku melompat kegirangan lalu memeluk Daniel. Ia memberikan kejutan yang membuatku tak bisa berkata-kata sedikitpun.

Dalam pelukan Daniel, dari kejauhan aku melihat sebuah mobil sedan hitam di depan gerbang rumah. Pria itu memakai kacamata hitam, ia tampak sedang memperhatikan kearah ku, sadar jika aku mengetahui keberadaannya ia lalu melajukan mobilnya dan pergi dari sana.

Aku dan Daniel berdansa dengan diiringi musik klasik favoritku. Kami berdansa dengan anggun layaknya patung pria dan wanita di kotak musik pemberian Daniel.

Jun, aku sangat bahagia...

Aku harap kau juga merasakan kebahagian seperti aku...


At The Romantic Paris

At The Romantic Paris

             Oleh Natania Prima Nastiti
            Selalu teringat dibenakku kejadian dua minggu yang lalu. Teringat akan senyuman tulus gadis itu juga kedua mata indahnya yang kugambarkan mirip dengan bulan terang di malam hari. Saat nyaris saja sebuah mobil menabrak gadis itu, dengan sigapnya aku menolong gadis yang tidak kuketahui namanya itu bak seorang pahlawan. Kejadian itu benar-benar membuatku gelisah sekarang. Ditambah pancaran sinar dari wajah cantik gadis itu yang membuatku tambah tak karuan. Bahkan hingga saat ini, aku masih saja terus gelisah memikirkan gadis cantik itu. Hingga saat ini, saat sesuatu yang tidak terduga datang lagi kepadaku..

            Kupotret bangunan-bangunan di Kota Tua sore itu, semua orang yang lewat, para pedangang yang menanti pembeli datang. Hingga sesuatu yang tidak terduga itu terjadi. Diantara banyak orang-orang lewat sambil tertawa ria, aku melihat sosok wajah yang familiar. Ya, gadis itu. Gadis yang kutolong dua minggu lalu. Dia juga sedang asik mengabadikan kejadian-kejadian menarik di Kota Tua sore itu. Kemudian terukir sebuah senyuman dibibirku, dan aku pun berlari menghampiri gadis itu. “Hey!” sapaku. Gadis itu menoleh sambil tersenyum indah dengan tampang agak sedikit bingung dan ragu. “Dua minggu lalu, kita ketemu saat kamu mau ketabrak mobil. Udah inget sama aku?” tanyaku menjawab tanda tanya dipikiran gadis itu. Gadis itu kemudian tertawa sambil menganggukkan kepalanya.

            “So, kamu seneng photograph juga, Sar?” tanyaku setelah kami berkenalan dan aku tau nama gadis itu adalah Sarah. “Iya. Dari SMA aku udah suka photograph. Seneng aja gitu bisa ngabadiin hal-hal menarik yang kadang nggak kita sadarin” jawabnya sambil tersenyum lembut ditambah sebuah lesung pipi di pipi kanannya. Aku mengangguk. “Emm, kapan-kapan boleh kali hunting bareng. Hehe” ucapku basa-basi. “Oh, boleh-boleh! Secepatnya deh direncanain tempatnya, soalnya baru-baru ini aku juga ada rencana mau hunting gitu deh” jawabnya bersemangat. “Oke deh, pasti diusahain cepet cari tempat huntingnya, Sar” sahutku sambil mengedipkan satu mata kearahnya. Sarah tertawa kemudian dia memotret seorang ibu yang sedang menggandeng kedua anak kembarnya. “Mau es krim?” tanyaku lagi. Sarah mengangguk.

***

            Semakin lama, semakin dekat aku dengan Sarah. Takdir memang tidak kemana, pertemuanku dengan Sarah benar-benar takdir yang indah. Apalagi setelah kita berdua hunting bersama di sebuah wisata air terjun di Jawa Tengah, kita berdua menjadi semakin akrab lagi. Kita berdua sudah saling berbuka cerita satu sama lain. Berbagi inspirasi, cerita, pengalaman, trik-trik memotret yang baik dan lainnya. Sampai kuketahui ternyata kedua orangtua Sarah telah lama meninggal dan sekarang dia tinggal bersama tantenya dengan hidup yang sederhana. Kenang-kenangan dari kedua orangtuanya hanya sebuah kamera yang sekarang selalu berada disisinya juga keinginan orangtuanya yang selalu ada dipikiran Sarah. Mereka ingin sekali Sarah menjadi photografer handal, terkenal dan bisa melanjutkan studi di Paris. “Mereka mau banget aku bisa ke Paris, menjadi seorang mahasiswi dan seorang photografer yang handal, Zan. Jika suatu saat aku bisa memamerkan hasil foto-fotoku di Paris, mereka pasti akan bangga banget punya anak kayak aku. Makanya itu, sampe sakarang, aku terus berlatih jadi photografer yang handal supaya bisa dapet beasiswa ke Paris dari kampusku. I ever fail, but I always try it again and again”, jelas Sarah saat berbicara tentang keinginan orangtuanya. Dari situ aku mengerti, bahwa Sarah adalah seorang perempuan yang pantang menyerah demi keinginan orang yang disayanginya.

            Lima bulan telah berlalu dengan begitu cepat. Kedekatanku dengan Sarah semakin menjadi. Kehandalan Sarah dalam memotret suatu objek juga semakin mantap. Aku optimis, jika dia bisa mendapatkan beasiswa itu. Dengan berjalannya waktu dan kedekatan ini, timbul perasaan sayangku padanya yang lebih mendalam dari sebelum-sebelumnya. Aku semakin ingin menjaga Sarah sepenuh hatiku. Aku ingin sekali melindunginya dari apapun. Aku ingin selalu ada disampingnya selalu. Menemani harinya. Tapi, aku masih belum berani mengungkapkan perasaan sayang ini padanya. Mungkin aku memang cowok pengecut yang takut ditolak cintanya dengan Sarah jika aku mengungkapkan isi hatiku yang sebenarnya. Tapi, aku memang benar-benar takut. Sampai saat ini Sarah tidak pernah memperhatikanku sampai sedetail mungkin. Dia hanya memerhatikanku sebagai temannya, menurutku. Sampai malam itu, saat aku mengajaknya ke Puncak, malam yang sangat istimewa bagiku..

            “Dezan, kamu nggak mau ngomong sesuatu sama aku?” tanya Sarah tiba-tiba. seketika aku bingung menatap Sarah. Tapi Sarah membalas tatapan bingung itu dengan senyuman dan sebuah lesung pipi khasnya. “Emm, berbulan-bulan kita dekat, apa kamu nggak ngerasa sesuatu yang berubah dari hati kamu?” tanya Sarah lagi sambil memandang licik kearahku. Aku hanya menaikkan satu alisku keatas, bingung. “Oke, bukannya aku kepedean sih, but I think.. you like me”, ucapan singkat yang keluar dari mulut Sarah itu telah membuat sekujur tubuhku gemetaran. Aku rasa darahku berhenti mengalir. Kemudian aku menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya secara perlahan hingga tiga kali, baru kemudian kujawab ucapan Sarah tadi. “No I’m not. I don’t like you, but I love you, Sarah” jawabku kemudian. Sarah terlihat kaget sejenak, dan kemudian dia tersenyum indah sekali padaku. “Dari pertama insiden itu terjadi, aku udah tertarik sama kamu. Tadinya aku berpikir mustahil akan bertemu kamu lagi tapi ternyata takdir berkata lain. Kita berdua dipertemukan kembali di sebuah tempat indah dan saat suasana romantis tercipta. Sampai akhirnya kita semakin dekat dan semakin lama perasaan sayang itu terbentuk di hatiku untuk kamu, Sarah” ucapku. Tiba-tiba Sarah memelukku dengan erat, aku merasa bahuku basah. Sarah menangis. “I love you too, Dezan” ucapnya disela-sela isak tangisnya. Senyumku berkembang sambil membalas pelukan Sarah.

***

            Malam itu dirumah Sarah sangat ramai. Bertahun-tahun Sarah menginginkan dan akhirnya hari itu juga dia telah mendapatkannya. Malam itu juga genap hubungan kami yang setahun. “Thanks for Jesus, Father from all of children, yang telah memberikan kasih sayangnya padaku,  thanks for my friends, my belove’s aunt and thanks for my beloved, yang telah hadir disini. Aku mendapatkan beasiswa ini nggak luput dari peranan dan support dari kalian semua. Bertahun-tahun aku mengejarnya, ternyata pengejaran itu berakhir disini. Ditahun ke-6 kedua orangtuaku meninggal. Setelah nanti aku berada di paris, aku nggak akan pernah mengecewakan kalian semua terutama Tante Mira dan keluarga yang telah ngerawat aku setelah kepergian kedua orangtuaku. Aku benar-benar berterima kasih atas apa yang telah kalian lakukan padaku” ucap Sarah panjang lebar dihari kebahagiaannya malam itu. Pelukan dan ciuman hangat serta tangis haru beradu menjadi satu dimalam bahagia itu. Aku yakin, kedua orangtua Sarah juga pasti merasakan kebahagiaan di Surga sana.

            Setelah lama berbincang, kemudian Sarah pamit permisi sambil mengajakku keluar rumah. sarah memelukku kemudian mencium pipiku. Dikeluarkannya tiket pesawat keberangkatan menuju Paris besok dari dalam saku bajunya. “See it, Honey” ucapnya sambil tersenyum padaku. “Happy anniversary one year, Dezan” ucapnya lagi sambil meneteskan air mata. “Kenapa?” tanyaku sambil menghapus air matanya. “Walau nanti kita nggak ketemu, kita berbeda tempat, berbeda pijakan bumi dan hamparan langit, kita akan tetap saling mencintai kan? Kamu nggak akan ninggalin aku kan? Hati kita akan terus bersatu kan?” tanya Sarah semakin terisak. Aku tersenyum, “aku cinta sama kamu selama-lamanya, Sarah. Aku akan terus dan akan tetap mencintaimu sampai nanti kita akan kembali pada Tuhan. Only dead is over our”. “I wish, We can meet again and stay at the romantic place in this world, French. Paris. And at the heaven if we die” ucap Sarah sambil terus menangis. “Kita pasti akan bertemu di kota romastis sedunia ini, Paris dan di Surga jika kita mati nanti” sahutku mengikuti ucapan Sarah. Aku memeluk Sarah dan menciumi keningnya. Walau berat melepasnya, tapi aku rela demi kebahagiaannya... mungkin...

            Acara di rumah Sarah selesai sekitar pukul 01.00. semua teman-temannya sudah pulang dan aku pun pamit pulang pada Sarah dan keluarga Tantenya. Saat setengah perjalanan, tiba-tiba handphoneku bergetar. Kupinggirkan mobil di bahu jalan yang lumayan sepi itu. “Iya, Tante, ada ap..?” ucapanku terputus. Bulu kudukku berdiri, aku merasa jantungku akan berhenti saat itu juga. Apa ini? apa yang baru kudengar ini?! handphoneku terjatuh. Aku memandang kosong kearah jalanan yang sepi. Semua badanku kaku dan gemetaran. Ini pasti mimpi! Just dream! Just shit dream!!. Suara Tante Mira masih bisa kudengar saking sepinya jalanan itu. “Hallooo?! Dezan? Dezann?! Kamu dengar kan? Sarah kecelakaan! Kamu harus cepat ke rumah sakit!”.

***

            We can meet again and stay at the romantic place in this world, French. Paris. And at the heaven if we die”. Teringat ucapan Sarah yang masih terdengar jelas ditelingaku. Ternyata pelabuhan terakhir memanglah Surga bukan kota romantis sedunia seperti Paris. Kelu lidah ini melihat gadis bergaun putih, bersarung tangan putih dengan tataan rambut yang indah dan wajah yang cantik tertidur pulas disebuah peti yang berbalut kain putih dengan banyak bunga di dalamnya. Kota Paris, hanyalah sebuah kota megah yang hanya dapat dia impikan tanpa bisa diraihnya. “Setelah kamu pergi, Sarah berlari mengejar mobilmu dan meneriaki namamu, Dezan. Hingga tanpa aba-aba, terdengar decitan rem yang sangat nyaring dari sebuah mobil sedan. Dan tanpa bisa dihentikan lagi, badan logam mobil itu telah beradu dengan tulang yang berbalut daging milik Sarah hingga dia terpental jauh. Tante nggak kuat, Zan, kenapa Tante harus menyaksikan sendiri peristiwa itu? Menyaksikan sendiri keponakan yang sangat tante banggakan akhirnya harus merelakan semua impiannya sia-sia”, ucapan Tante Mira tadi membuat tangisku semakin menjadi. Semua teman menyemangatiku. “Yang kami temukan, sebuah tiket menuju Paris dan sebuah foto ini”, ucapan Inspektur polisi malam itu, membuat aku mengeluarkan foto yang terkena bercak darah dari dalam kantong plastik. Foto mesra kami berdua. Foto cantik Sarah dengan senyumannya yang selalu tulus dan kedua matanya yang indah. Sama persis ketika aku pertama kali melihatnya dulu. Tapi sekarang senyuman itu akan pudar selamanya dan kedua mata itu akan tertutup tidak akan pernah terbuka lagi. Maaf jika kali ini aku tidak bisa menolongmu, Sarah. Ku relakan engkau Sarah, walau berat bagiku melepasmu kembali ke Sisi Tuhan...

Daftar Blog Saya

Sample text

0812 1597 3283

Text Widget

Visitors

Moto GP News

Football News

Sport News

Ads 468x60px

Followers

Basketball News

Featured Posts

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Test Sidebar

0812 1597 3283

Template Information

Template Information

Resource

Test Footer 2

Advertise

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Search

Popular Posts